Serba Serbi Surat Pembaca

Bagian dari situs Epistoholik Indonesia : cerita menarik mengenai serba-serbi surat pembaca

Wednesday, June 02, 2004

Surat-surat Pembaca di Mata Mereka




AHMAD SOFYAN, SEMARANG

Bambang, Joko, dan Triyas “Epistoholik”
Kolom Redaksi Yth-Harian Kompas Jawa Tengah, 25/10/2004).


Siapa saja yang membaca Kompas edisi Jawa Tengah pasti mengenal ketiga nama itu. Saya sempat kagum sekaligus bingung terhadap ketiga nama yang bergantian wira-wiri di rubrik Redaksi Yth ini. Ketiganya adalah Bambang Haryanto, Joko Suprayoga, dan Triyas Hadi Prihantoro.

Kagum karena tulisan mereka di rubrik ini sangat menyentuh, terutama karena ditulis lepas dari kepentingan apa pun. Kecuali, ingin melihat segala sesuatu di sekitar kita yang ruwet dan kusut ini dengan lebih jelas.

Bingung, karena mereka bertiga mengusung wadah yang sama, yaitu warga Epistoholik Indonesia. Apakah ini nama “partai politik” baru ?

Membaca surat dari mereka bertiga, yang menyodorkan “perkara” besar atau terkadang hal “kecil”, membuat kita tersenyum, manggut-manggut, atau geleng-geleng kepala atas “kepekaan” mereka yang usil, genit, dan kritis, serta pinter “nyari-nyari” ide.

Membaca surat Pak Bambang misalnya, hampir semua tampak seperti sebuah “tulisan” yang menggambarkan kedalaman renungan, kesungguhan, semangat juang, dan kegigihan hidup tanpa melupakan dimensinya yang paling menarik, humor, senyum, dan “dolanan”, yang membuat jiwa pembaca terasa merdeka dari beban ini dan itu.

Mas Joko menawarkan tulisan yang lebih “sederhana”, tetapi asyiknya kesederhanaan itu tanpa harus mengorbankan pemahaman, renungan, kearifan, kiat, dan strategi Joko atas suatu “perkara”. Saya kira hampir tidak ada orang yang merasa terpaksa membaca tulisannya.

Sementara untuk Pak Triyas, rupanya bidang keahlian yang ia tekuni sebagai pendidik di sebuah sekolah menengah atas (SMA) di Solo menempatkannya bukan sekadar pada posisi partisipan biasa, melainkan kelas seorang “empu”.

Melihat produktifnya mereka bertiga, barangkali mereka menganut falsafah yang sama, pikiran atau pemandangan yang tidak langsung ditancap atau digoreskan di atas kertas, akan lenyap dalam aliran sang waktu.

Surat demi surat ketiga orang itu memperkaya dan memberikan pada kita pelajaran untuk melihat sesutau “masalah” dari sudut pandang yang semula mungkin tak pernah kita perhitungkan.

Pendek kata, membaca surat pembaca mereka bertiga, kita mengorbankan waktu bukan untuk sebuah kesia-siaan.


AHMAD SOFYAN
Jl. Puspanjolo Tengah VII/12
Semarang

Penjelasan Redaksi : Epistoholik Indonesia adalah kelompok penggemar menulis surat pembaca. Warga Epistoholik Indonesia sering mengisi rubrik ini, tetapi siapa pun pembaca Kompas tetap terbuka untuk menulis surat pembaca di rubrik ini. Penjelasan ini sekaligus menjawab sejumlah pertanyaan yang diterima Redaksi mengenai Epistoholik Indonesia.

---------
AMILA PRAMIANDI (Email : 5 Oktober 2004)

Salut buat EPISTOHOLIK INDONESIA

Salam kenal..saya baru mengetahui ternyata ada "pekerjaan" sebagai penulis surat pembaca setelah membaca (majalah) Intisari edisi Juli 2004. Kata epistoholik pun sangat-sangat asing terdengar karena sebelumnya memang belum pernah saya dengar.

Saya yakin para epistoholik adalah sosok-sosok yang "amat sangat peduli sekali" tentang "hidup", menangkap fenomena-fenomena yang muncul di tengah masyarakat, pemerintah, artis, gelandangan mungkin, dunia olahraga, seni, dsb, dan menuangkannya dalam tidak lebih dari 5 paragraf.

Saat ini saya sedang membuka situs Epistoholik Indonesia, saya agak heran kenapa semua masih bertahun 2003. Apakah situs ini selalu diupdate?

Kesan setelah membuka situs EI : polosan banget. Apakah itu memang disengaja?
Namun, isi selalu lebih penting dari yang lainnya, heeeee.....dan karena saya "tidak mampu" membeli semua jenis koran atau majalah, surat -surat yang ditampilkan sungguh menggoda mata.

Sekian dulu dan terima kasih.

Mila


----------

ANTHONY PARAKAL (72 tahun), warga Evershine Nagar, Mumbay, India, yang telah menulis surat pembaca di pelbagai surat kabar dunia sebanyak 5.000 surat berbahasa Inggris. Ia telah menulis surat-surat pembaca sejak tahun 1955.

Pada tahun1998, menurut Indian Express Newspapers (Bombay), Anthony Parakal telah dinominasikan sebagai Tokoh Tahun 1998 (Man of the Year) oleh American Biographical Institute. (http://www.indianexpress.com/ie/daily/19981214/34850634.html).

Profil dirinya telah dimuat dalam Limca Book of Records (from 1990 onwards) dan juga dalam terbitan bergengsi Guinness Book Of World Records (1993, Indian Edition), selain muncul dalam majalah internasional TIME (April 6 and May 4, 1992) atas prestasi dan komitmen sosialnya :

· “Menulis surat menjadi obsesi diri saya dan tak ada hari yang terlewat tanpa melihat nama saya, sekurang-kurangnya dalam tiga buah surat pembaca yang muncul dalam terbitan surat kabar. Hal ini karena keyakinan saya terhadap dampak dahsyat suatu media yang saya pilih untuk mengemukakan isu-isu tersebut”

· (Walau Anthony Parakal menghargai surat-surat penghargaan yang dikirimkan beberapa Perdana Menteri India, seperti Gulzari Lal Nanda, Morarji Desai, Indira Gandhi, Rajiv Gandhi, atas prestasinya, ia merasakan kepuasan yang lebih besar apabila fihak yang berwenang menanggapi segera keluhannya.). "Baru-baru ini, setelah surat saya dimuat yang menyuarakan keluhan saya tentang tiadanya lampu penerangan jalan di Evershine Nagar, maka fihak yang terkait segera menanggapi dan usulan saya itu pun segera menjadi kenyataan”

· “Dengan tuntutan harus menghidupi keluarga yang terdiri dari lima orang, saya seringkali tidak memiliki uang untuk membeli perangko guna mengirimkan surat-surat pembaca saya. Cara mengatasinya, saya langsung datang ke kantor koran bersangkutan untuk menyerahkan surat pembaca saya apabila saya pandang isinya penting untuk bisa dimuat dalam terbitan esok hari“

· “Saya telah menulis pelbagai topik, di antaranya seperti korupsi, kemiskinan, dan AIDS. Topik yang paling saya minati adalah mengenai penyakit lepra dan persenjataan nuklir” (By: Pooja Kumar / http://web.mid-day.com/metro/malad/2003/november/68003.htm).

· (Kegetolannya menulis surat pembaca tidak hanya berbuah sebagai obsesi, tetapi juga menghabiskan biaya sekitar Rs 1 lakh per surat dan kadang pertengkaran dengan keluarganya, terutama istrinya.) “Kedua anak perempuan dan anak lelaki saya bisa memahami, tetapi istri saya ketika bertengkar seringkali mengancam akan membakar 15 gepok arsip berisikan himpunan surat-surat pembaca saya”

· "Saya bercita-cita menghimpun semua koleksi surat pembaca saya dalam bentuk buku yang sudah ada judulnya, yaitu 'So far So Bad' dan kini saya sedang mencari sponsor untuk penerbitannya. Ada beberapa sponsor yang berminat, tetapi mereka menginginkan agar beberapa surat saya yang mengeritik pemerintah untuk dibuang. Saya menolak untuk berkompromi”(http://ww1.midday.com/mumbaikar/2003/november/68421.htm).


----------

BIMO WIJOSENO, wartawan majalah Intisari, Jakarta.

· “Saya sendiri paling senang membaca surat pembaca. Biasanya saya baca paling pertama.” (Email ke Bambang Haryanto/Epistoholik Indonesia, 31/3/2004).

----------

HAYU PRATIDINA, MAGELANG

Terinspirasi Penulis Surat Pembaca
Dimuat di kolom Dialog Majalah Intisari, September 2004

Saya tertarik sekali pada tulisan tentang “penulis surat pembaca” di (Intisari) edisi Juli 2004. Saya baru tahu kalau ada orang yang sangat getol menulis surat pembaca hingga puluhan tahun dan sampai mendapat penghargaan dari MURI (Museum Rekor Indonesia).

Tulisan itu menginspirasi saya bahwa orang jangan takut mencoba, jangan mudah menyerah, dan tetap tekun.

Selamat kepaada Pak Bambang dan Pak Gandhi, kedua penulis tersebut. Semoga ide-idenya tidak pernah kering dan terus menulis surat pembaca.

Semoga Intisari juga memuat tulisan mengenai hobi-hobi unik lainnya. Sampaikan salam saya buat mereka.

Hayu Pratidina
Magelang 56172


----------
HERMAN TONY, praktisi pariwisata (perhotelan) Yogyakarta.

· “Saya suka dan sering menulis surat pembaca, rubrik bisnis dan artikel opini di harian lokal Yogyakarta, yaitu Harian Bernas dan Kedaulatan Rakyat. Malahan harus saya katakan bahwa melalui surat pembaca saya pertama kali mensosialisasikan pikiran dan / atau tanggapan saya atas masalah aktual yang ada di masyarakat terutama memiliki keterkaitan secara langsung atau tidak langsung dengan pariwisata di tanah air umumnya dan pariwisata Yogyakarta khususnya.” (Emailnya ke Bambang Haryanto / Epistoholik Indonesia, 2/4/2004).


----------

LASMA SIREGAR, petualang, penulis, petani dan seniman Indonesia yang kini tinggal di pedalaman Melbourne, Australia.

· Di Australia, sebuah surat pembaca harus ada nama, alamat, nomer phone-nya. Penulis dikontak, apakah benar-benar ada yang bernama A di A dan yang ditulisnya bisa dibenarkan. Soalnya terkadang apa yang ditulis begitu bermutu untuk diselidiki dan akhirnya jadi berita.

Pernah seorang rakyat kecil bernama A melihat ditepi laut ada truck membuang sampah yang chemical dan berbahaya. Dia catat nama perusahaannya dan nomer truck lalu kirim surat pembaca. Ketika ditanya, mengapa ia tidak melaporkan polisi? Ia menjawab: Soalnya kalau menulis surat dirumah lebih tenang dan bisa lebih dipikirkan. Kalau melapor ke polisi, malah jadi ramai nggak karu-karuan. Polisi datang, tetangga pada ribut dan pengen tahu apa yang terjadi.

Bagaimana di Indonesia? Apakah ada syarat-syarat yang wajib dipenuhi sebelum diterima Redaksi untuk dimuat? Bayangkanlah kalau tidak diperiksa, ada seseorang yang pakai 50 nama yang berbeda dan mengirimnya dalam 50 versi berbeda kepada 50 media? Orang-orang yang dikategorikan teroris bisa pakai surat pembaca buat kampanye desas desus yang berbahaya! (Emailnya tanggal 16/12/2003 kepada Bambang Haryanto).


· “Banyak orang di Australia yang bilang mereka menemukan sesuatu yang benar dan menarik di lembaran surat pembaca. Yang ditulis rakyat biasa dengan bahasa sederhana tanpa banyak hiasan kata hampa.”

· “Kata orang, kalau mau tahu New York bacalah surat kabar, majalah dan bukunya. Baca surat pembacanya ! Jantung kota New York berdebar dalam kehidupan rakyatnya, aroma jalanan dan ributnya pasar di tengah sibuknya manusia yang kian kemari.” (Artikel “Mengapa Wonogiri Bisa Jadi Markas JEI ?”, Mediakrasicom, 22/12/2003 / http://www.mediakrasi.com)


----------


MUTI SIAHAAN, Pengelola Rubrik Muda, Harian Kompas

· “Menulis adalah salah satu cara efektif untuk menunjukkan partisipasi kita. Tuangkan deh unek-unek kita dalam tulisan dan kirimkan tulisan itu ke media. Bentuknya sih macam-macam.

· Bentuk paling sederhana ya lewat surat pembaca. Kita bisa kirimkan ke koran atau majalah-majalah sosial politik. Atau bisa juga kita membuat sebuah karangan untuk dimuat di majalah dan koran.

· Tulis deh dari sudut pandang kita sebagai remaja. Misalnya nih, sekarang orang sedang ramai ngomong kampanye. Kenapa engga kita tulis karangan soal kampanye dari sudut pandang remaja. Seru lho. “(Kompas, 2/4/2004).


----------

OEY TJONG HOO, Kutoarjo.

· “Tanpa adanya kolom surat pembaca, Suara Merdeka bak pedang kehilangan sarungnya, atau sayur tanpa garam. Terasa hampa !” (Beliau juga menyarankan agar para penulis surat pembaca itu diberikan kenang-kenangan, misalnya topi, kaos, jaket yang berlogo Suara Merdeka. Misalnya, dengan cara diundi.). (Surat Pembaca, Harian Suara Merdeka, 10/3/2004)

-------------

ROSITA SIHOMBING, warga Indonesia yang tinggal di Paris, Perancis.

· “Saya senang sekali membaca surat pembaca baik lewat Internet maupun media cetak, apalagi sejak saya tinggal di luar negeri, keinginan saya untuk membaca surat pembaca di media-media di Internet semakin tinggi ! Kadang-kadang saya malahan lebih memilih membaca surat-surat pembaca daripada berita-berita yang ditulis oleh wartawan, karena biasanya pesan-pesan dari penulis di surat pembaca lebih mengena dan saya rasa cukup objektif ! Misalnya, ketika ada satu topik yang sedang heboh yg terjadi di Indonesia, saya buka saya surat pembaca di media-media yang ada di Internet. Nah, dari tulisan-tulisan atau komentar-komentar para penulis surat pembaca saya bisa mengambil kesimpulan dari topik-topik yg sedang "in" di Indonesia ! “(Emailnya ke Bambang Haryanto, 11 Desember 2003 ).


----------

SOEROYO, wredatama Solo.


· “Saya pegawai negeri sipil yang sudah pensiun tahun 1981. Setelah pensiun, post-power syndrome saya jauhi dan saya harus berani menghadapi kenyataan. Saya beristirahat total setiap hari, dari bangun tidur sampai tidur kembali yang sungguh menjemukan. Guna menghilangkan sebel, saya isi waktu dengan banyak mendengarkan siaran radio, banyak melihat tayangan TV serta banyak membaca apa saja yang bisa dibaca.

· Apabila ada hal-hal yang tidak laras dengan pola pikir saya, maka saya mencoba menulis yang hasilnya saya kirimkan ke redaksi suratkabar, apa saja. Pertama saya kirimkan ke Sinar Harapan, yang kemudian berganti nama Suara Pembaruan yang saya menjadi pelanggannya. Ternyata tulisan-tulisan saya banyak dimuat, kemudian tulisan saya kirimkan juga ke Suara Merdeka, Surya, Bernas dan Solopos. Saya merasa senang kalau tulisan saya dimuat, sebab pasti akan dibaca oleh orang banyak. Rupanya inilah salah satu hiburan saya selaku manula wredatama/pensiunan.

· Cukup banyak juga pembaca yang setuju dengan tulisan saya, namun ada juga yang sifatnya memberikan kritik membangun. Paham saya, agar pikiran ini tetap bekerja dan kreatif tidak loyo mengikuti jasmani yang usur di usia senja. Sangat ideal menerapkan TOPP baru, yakni Tua, Optimis, Prima dan Produktif, bukan TOPP lama yang kita kenal : Tua, Ompong, Pikun dan Peot.

· Saya anjurkan pada para epistoholik muda supaya lebih gencar menulis yang positif. Semua itu bisa dijadikan sarana guna mencerdaskan anak bangsa. Semoga gagasan indah bisa terlaksana dengan baik. Amin. “ (Surat Pembaca, “Merintis Wadah Epistoholik”, di Harian Solopos, 5/12/2003)


----------

SUSANNA TAMARO,
dalam novelnya Pergilah Kemana Hati Membawamu (Va’ Dove Ti Porte Il Cuore) yang dimuat bersambung di Harian Kompas (10/3/2004) :


· “Dan surat-surat pembaca itu. Tak hentinya aku mengagumi hal-hal yang ditulis dengan berani oleh orang-orang itu.”


----------